Rabu, 27 April 2011

Arikel Kesehatan Reproduksi

Seksualitas Remaja Indonesia
Oleh redaksi pada Rab, 01/02/2008 - 11:06.
• Artikel
Oleh: Siti Rokhmawati Darwisyah
Sebuah survei terbaru terhadap 8084 remaja laki-laki dan remaja putri usia 15-24 tahun di 20 kabupaten pada empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung) menemukan 46,2% remaja masih menganggap bahwa perempuan tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks. Kesalahan persepsi ini sebagian besar diyakini oleh remaja laki-laki (49,7%) dibandingkan pada remaja putri (42,3%) (LDFEUI & NFPCB, 1999a:92).
Dari survei yang sama juga didapatkan bahwa hanya 19,2% remaja yang menyadari peningkatan risiko untuk tertular PMS bila memiliki pasangan seksual lebih dari satu. 51% mengira bahwa mereka akan berisiko tertular HIV hanya bila berhubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK) (LDFEUI & NFPCB, 1999b:14).
Sumber Informasi Kesehatan Reproduksi

Remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Akan tetapi karena faktor keingintahuannya mereka akan berusaha untuk mendapatkan informasi ini. Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa.
Kebanyak orang tua memang tidak termotivasi untuk memberikan informasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi kepada remaja sebab mereka takut hal itu justru akan meningkatkan terjadinya hubungan seks pra-nikah. Padahal, anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua atau sekolah cenderung berperilaku seks yang lebih baik daripada anak yang mendapatkannya dari orang lain (Hurlock, 1972 dikutip dari Iskandar, 1997).
Keengganan para orang tua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas juga disebabkan oleh rasa rendah diri karena rendahnya pengetahuan mereka mengenai kesehatan reproduksi (pendidikan seks). Hasil pre-test materi dasar Reproduksi Sehat Anak dan Remaja (RSAR) di Jakarta Timur (perkotaan) dan Lembang (pedesaan) menunjukkan bahwa apabila orang tua merasa meiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang kesehatan reproduksi, mereka lebih yakin dan tidak merasa canggung untuk membicarakan topik yang berhubungan dengan masalah seks (Iskandar, 1997:3).
Hambatan utama adalah justru bagaimana mengatasi pandangan bahwa segala sesuatu yang berbau seks adalah tabu untuk dibicarakan oleh orang yang belum menikah (Iskandar, 1997:1).
Sikap Remaja terhadap Kesehatan Reproduksi

Responden survei remaja di empat propinsi yang dilakukan pada tahun 1998 memperlihatkan sikap yang sedikit berbeda
dalam memandang hubungan seks di luar nikah. Ada 2,2% responden setuju apabila laki-laki berhubungan seks sebelum
menikah. Angka ini menurun menjadi 1% bila ditanya sikap mereka terhadap perempuan yang berhubungan seks sebelum menikah. Jika hubungan seks dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, maka responden yang setuju menjadi 8,6%. Jika mereka berencana untuk menikah, responden yang setuju kembali bertambah menjadi 12,5% (LDFEUI & NFPCB, 1999a:96-97).
Sebuah studi yang dilakukan LDFEUI di 13 propinsi di Indonesia (Hatmadji dan Rochani, 1993) menemukan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa pengetahuan mengenai kontrasepsi sudah harus dimiliki sebelum menikah.
Perilaku Seksual Remaja

Survei remaja di empat propinsi kembali melaporkan bahwa ada 2,9% remaja yang telah seksual aktif. Persentase remaja
yang telah mempraktikkan seks pra-nikah terdiri dari 3,4% remaja putra dan 2,3% remaja putri (LDFEUI & NFPCB,
1999:101). Sebuah survei terhadap pelajar SMU di Manado, melaporkan persentase yang lebih tinggi, yaitu 20% pada remaja putra dan 6% pada remaja putri (Utomo, dkk., 1998).
Sebuah studi di Bali menemukan bahwa 4,4% remaja putri di perkotaan telah seksual aktif. Studi di Jawa Barat menemukan perbedaan antara remaja putri di perkotaan dan pedesaan yang telah seksual aktif yaitu berturut-turut 1,3% dan 1,4% (Kristanti & Depkes, 1996: Tabel 8b).
Sebuah studi kualitatif di perkotaan Banjarmasin dan pedesaan Mandiair melaporkan bahwa interval 8-10 tahun adalah
rata-rata jarak antara usia pertama kali berhubungan seks dan usia pada saat menikah pada remaja putra, sedangkan pada remaja putri interval tersebut adalah 4-6 tahun (Saifuddin dkk, 1997:78).
Tentu saja angka-angka tersebut belum tentu menggambarkan kejadian yang sebenarnya, mengingat masalah seksualitas termasuk masalah sensitif sehingga tidak setiap orang bersedia mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan apabila angka sebenarnya jauh lebih besar daripada yang dilaporkan.
Daftar Pustaka

Iskandar, Meiwita B. "Hasil Uji Coba Modul Reproduksi Sehata Anak & Remaja untuk Orang Tua." Makalah pada Lokakarya Penyusunan Rencana Pengembangan Media, diselenggarakan oleh PKBI, Jakarta, 20-21 Mei 1997.
Kristanti, Ch. M dan Depkes. Status Kesehatan Remaja Propinsi Jawa Barat dan Bali: Laporan Penelitian 1995/1996. Jakarta: Depkes-Binkesmas-Binkesga, 1996.
LDFEUI dan NFPCB. Baseline Survey of Young Adult Reproductive Welfare in Indonesia 1998/1999 Book I. Jakarta: LDFEUI dan NFPCB, Juli 1999a.
LDFEUI dan NFPCB. Baseline Survey of Young Adult Reproductive Welfare in Indonesia 1998/1999. Executive Summary and Recommendation Program. Jakarta: LDFEUI dan NFPCB, Juli 1999b.
Rosdiana, D. Pokok-Pokok Pikiran Pendidikan Seks untuk Remaja. Dalam N. Kollman (ed). Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1998:9-20.
Saifuddin, A. F., dkk. Perilaku Seksual Remaja di Kota dan di Desa: Kasus Kalimantan Selatan. Depok: Laboratorium Antropologi, FISIP-UI, 1997.
Utomo, B., Haryanto B. Dharmaputra, D. Hartono, R. Makalew, dan J. Moran Mills. Baseline STD/HIV/Risk Behavioral Surveillance 1996: Result from the Cities of North Jakarta, Surabaya, and Manado. Jakarta: Center for Health Research University of Indonesia, the Ministry of Health RI, dan HAPP/Family Health International, 1998.

Arikel Kesehatan Reproduksi

Mengkhawatirkan, Perilaku Seks Anak Rantau
Oleh redaksi pada Rab, 01/02/2008 - 11:05.
• Artikel
Mengkhawatirkan dan menakutkan. Dua kata ini agaknya tepat untuk menggambarkan perilaku seks anak rantau (imigran), khusunya para TKI yang mengais ringgit di Malaysia. Ditengarai, karena jenuh dan kesepian, mereka berani 'menyelundupkan' perempuan nakal ke perkampungan.
Para TKI yang rata-rata berusia antara 20-35 tahun umumnya tak menyadari ada bahaya mengintip di balik perilaku seks mereka. Banyak di antara mereka yang berangkat sebagai TKI hanya beberapa minggu setelah menikah. Ini terutama terjadi pada pasangan yang sebelum menikah belum bekerja. Dorongan seksual yang terpendam itu akhirnya tak tertahankan lagi setelah berbulan-bulan bekerja di perkebunan yang jauh dari keramaian dan sepi.
Harus diakui, kegiatan migrasi dengan bekerja sebagai TKI memberikan sumbangan besar bagi pendapatan keluarga di kampung halaman. Sebuah penelitian di Lombok mengungkapkan, pendapatan (remitan) dari bekerja sebagai TKI di Malaysia memberikan kontribusi 57,02 % terhadap pendapatan keluarga.
Pada sisi lain, bekerja sebagai TKI ke Malaysia membawa konsekuensi yang cukup berat, yakni berpisah dengan keluarga dalam waktu yang cukup lama. Maklum saja, mereka hanya menjenguk keluarganya hanya sekali dalam 1 atau 2 tahun. Kehidupan TKI yang terpisah dengan keluarganya dalam jangka waktu yang cukup lama ini akhirnya menimbulkan perilaku negatif selama mereka bekerja di Malaysia.
Keletihan mereka bekerja di perkebunan, kebosanan, dan kesepian selama di perantauan diobati dengan datangnya para pelacur dari kota. Seperti dikutip Yayasan Pelita Ilmu, beberapa TKI di Malaysia mengakui bahwa setiap minggu sejumlah pelacur di datangkan ke perkebunan-perkebunan tempat mereka bekerja. Sebagian dari rekan mereka tidak bisa menahan diri dan inilah salah satu sebab mereka tidak dapat mengirim uang kepada keluarganya karena pendapatannya habis untuk melacur.
Perilaku seksual seperti ini selama di Malaysia tentu akan membuatnya rentan terhadap penularan berbagai penyakit menular seksual (PMS) dan HIV. Pendidikan mereka yang rata-rata rendah juga makin memperbesar resiko ini. Pengetahuan mereka tentang PMS dan HIV/AIDS sangat terbatas.
Dampak selanjutnya yang lebih membahayakan adalah bila para TKI yang telah tertular atau membawa PHS dan virus lainnya ini pulang menjenguk keluarganya di daerah asal. Mereka bisa menularkan PMS, virus HIV, atau penyakit alat reproduksi lainnya terhadap istri mereka. Juga bila mereka pulang dan kemudian kawin lagi dengan perempuan di daerah asal, tentu akan mempunyai risiko tinggi untuk menularkan kepada pasangannya.
Mengingat besarnya arus pekerja migran ke Malaysia dari tahun ke tahun dan dengan kondisi lingkungan kerja yang rawan terhadap mereka untuk tertular berbagai PHS dan HIV/AIDS diperlukan berbagai langkah awal untuk mengantisipasi permasalahan tersebut. Untuk itu, sebagai langkah awal diperlukan suatu kajian terhadap perilaku seksual pekerja migran selama mereka bekerja di Malaysia.
Mengingat keterbatasan pengetahuan dan pendidikan pekerja migran (TKI), problem yang mendasar adalah bagaimana meningkatkan pengatahuan mereka mengenai PMS, HIV/AIDS, gejala-gejalanya, penyebabnya, dan cara penularannya. Hal ini penting untuk dikaji karena perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan tentang penyakit itu.
Dalam berhubungan dengan para pelacur. Sebagian besar dari mereka sama sekali tidak terpikir tentang akibat yang bisa di timbulkan. Tindakan pencegahan penyakit hubungan seksual dan HIV/AIDS juga tidak pernah terpikir oleh mereka sehingga dalam melakukan hubungan seksual, hampir semua TKI tidak pernah menggunakan kondom.
Yayasan Pelita Ilmu menyimpulkan, perlu dilakukan langkah-langkah strategis seperti pelatihan, penyuluhan, pendidikan atau berbagai bentuk kegiatan lainnya untuk peningkatan pengetahuan TKI tentang kesehatan reproduksi dan perilaku seksual yang sehat. Ini harus menjadi prioritas karena calon TKI dan TKI yang sudah bekerja termasuk golongan berisiko tinggi penularan PMS dan HIV/ AIDS.
Dalam mempersiapkan pekerja migran (TKI) yang akan berangkat ke luar negeri, pihak terkait (Depnaker maupun Perusahaan PJTKI) tidak hanya memperhatikan soal teknis seperti keterampilan TKI, tetapi sudah semestinya memperhatikan soal non teknis seperti pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, untuk membentuk kesadaran akan kehidupan seksual yang aman. Sudah mendesak untuk dilakukannya penyusunan suatu materi pokok (sylabus) pendidikan dan pelatihan tentang kesehatan reproduksi dan memasukannya dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi calon TKI.
Pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya perlu meninjau kembali berbagai kesepakatan atau kontrak kerja dengan pengguna jasa TKI di luar negeri atau dapat menciptakan kondisi lingkungan kerja dan lingkungan tempat tinggal yang lebih nyaman bagi mereka, seperti kondisi perumahan layak, tersedianya sarana hiburan, sarana peribadatan atau pengembangan kegiatan- kegiatan lainnya yang akan dapat memberikan perasaan nyaman dan kerasan bagi TKI. [hnl]

Arikel Kesehatan Reproduksi

Mengkhawatirkan, Perilaku Seks Anak Rantau
Oleh redaksi pada Rab, 01/02/2008 - 11:05.
• Artikel
Mengkhawatirkan dan menakutkan. Dua kata ini agaknya tepat untuk menggambarkan perilaku seks anak rantau (imigran), khusunya para TKI yang mengais ringgit di Malaysia. Ditengarai, karena jenuh dan kesepian, mereka berani 'menyelundupkan' perempuan nakal ke perkampungan.
Para TKI yang rata-rata berusia antara 20-35 tahun umumnya tak menyadari ada bahaya mengintip di balik perilaku seks mereka. Banyak di antara mereka yang berangkat sebagai TKI hanya beberapa minggu setelah menikah. Ini terutama terjadi pada pasangan yang sebelum menikah belum bekerja. Dorongan seksual yang terpendam itu akhirnya tak tertahankan lagi setelah berbulan-bulan bekerja di perkebunan yang jauh dari keramaian dan sepi.
Harus diakui, kegiatan migrasi dengan bekerja sebagai TKI memberikan sumbangan besar bagi pendapatan keluarga di kampung halaman. Sebuah penelitian di Lombok mengungkapkan, pendapatan (remitan) dari bekerja sebagai TKI di Malaysia memberikan kontribusi 57,02 % terhadap pendapatan keluarga.
Pada sisi lain, bekerja sebagai TKI ke Malaysia membawa konsekuensi yang cukup berat, yakni berpisah dengan keluarga dalam waktu yang cukup lama. Maklum saja, mereka hanya menjenguk keluarganya hanya sekali dalam 1 atau 2 tahun. Kehidupan TKI yang terpisah dengan keluarganya dalam jangka waktu yang cukup lama ini akhirnya menimbulkan perilaku negatif selama mereka bekerja di Malaysia.
Keletihan mereka bekerja di perkebunan, kebosanan, dan kesepian selama di perantauan diobati dengan datangnya para pelacur dari kota. Seperti dikutip Yayasan Pelita Ilmu, beberapa TKI di Malaysia mengakui bahwa setiap minggu sejumlah pelacur di datangkan ke perkebunan-perkebunan tempat mereka bekerja. Sebagian dari rekan mereka tidak bisa menahan diri dan inilah salah satu sebab mereka tidak dapat mengirim uang kepada keluarganya karena pendapatannya habis untuk melacur.
Perilaku seksual seperti ini selama di Malaysia tentu akan membuatnya rentan terhadap penularan berbagai penyakit menular seksual (PMS) dan HIV. Pendidikan mereka yang rata-rata rendah juga makin memperbesar resiko ini. Pengetahuan mereka tentang PMS dan HIV/AIDS sangat terbatas.
Dampak selanjutnya yang lebih membahayakan adalah bila para TKI yang telah tertular atau membawa PHS dan virus lainnya ini pulang menjenguk keluarganya di daerah asal. Mereka bisa menularkan PMS, virus HIV, atau penyakit alat reproduksi lainnya terhadap istri mereka. Juga bila mereka pulang dan kemudian kawin lagi dengan perempuan di daerah asal, tentu akan mempunyai risiko tinggi untuk menularkan kepada pasangannya.
Mengingat besarnya arus pekerja migran ke Malaysia dari tahun ke tahun dan dengan kondisi lingkungan kerja yang rawan terhadap mereka untuk tertular berbagai PHS dan HIV/AIDS diperlukan berbagai langkah awal untuk mengantisipasi permasalahan tersebut. Untuk itu, sebagai langkah awal diperlukan suatu kajian terhadap perilaku seksual pekerja migran selama mereka bekerja di Malaysia.
Mengingat keterbatasan pengetahuan dan pendidikan pekerja migran (TKI), problem yang mendasar adalah bagaimana meningkatkan pengatahuan mereka mengenai PMS, HIV/AIDS, gejala-gejalanya, penyebabnya, dan cara penularannya. Hal ini penting untuk dikaji karena perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan tentang penyakit itu.
Dalam berhubungan dengan para pelacur. Sebagian besar dari mereka sama sekali tidak terpikir tentang akibat yang bisa di timbulkan. Tindakan pencegahan penyakit hubungan seksual dan HIV/AIDS juga tidak pernah terpikir oleh mereka sehingga dalam melakukan hubungan seksual, hampir semua TKI tidak pernah menggunakan kondom.
Yayasan Pelita Ilmu menyimpulkan, perlu dilakukan langkah-langkah strategis seperti pelatihan, penyuluhan, pendidikan atau berbagai bentuk kegiatan lainnya untuk peningkatan pengetahuan TKI tentang kesehatan reproduksi dan perilaku seksual yang sehat. Ini harus menjadi prioritas karena calon TKI dan TKI yang sudah bekerja termasuk golongan berisiko tinggi penularan PMS dan HIV/ AIDS.
Dalam mempersiapkan pekerja migran (TKI) yang akan berangkat ke luar negeri, pihak terkait (Depnaker maupun Perusahaan PJTKI) tidak hanya memperhatikan soal teknis seperti keterampilan TKI, tetapi sudah semestinya memperhatikan soal non teknis seperti pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, untuk membentuk kesadaran akan kehidupan seksual yang aman. Sudah mendesak untuk dilakukannya penyusunan suatu materi pokok (sylabus) pendidikan dan pelatihan tentang kesehatan reproduksi dan memasukannya dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi calon TKI.
Pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya perlu meninjau kembali berbagai kesepakatan atau kontrak kerja dengan pengguna jasa TKI di luar negeri atau dapat menciptakan kondisi lingkungan kerja dan lingkungan tempat tinggal yang lebih nyaman bagi mereka, seperti kondisi perumahan layak, tersedianya sarana hiburan, sarana peribadatan atau pengembangan kegiatan- kegiatan lainnya yang akan dapat memberikan perasaan nyaman dan kerasan bagi TKI. [hnl]

Kamis, 14 April 2011

STikes Bigez Ryzki Amaliah

RYZKI AMALIA
31500610088
KEBIDANAN. B

PENGALAMAN OSPEK

Sewaktu kami di ospek, kami di suruh ma kakak panitia membeli jilbab yang berwarnah hijau terang, and kos kaki bola yang berwarnah putih. Sepulang dari kampus sayapun langsung bergegas ingin cepat pulang untuk mencari bahan yang di suruhkan kepada kami. Tapi cuaca tidak mendukung alias hujan sayapun pulang bersama Mhira. Mhirapun menbonceng saya dan diperjalanan dekat rumah saya jalanan agak rusak dan banyak lubangnya dan Mhirapun membalap motornya tanpa menyadari kalau didepan ada lubang spontan aku teriak dan hampir terjatuh sambil kami tertawa. Malam harinya kamipun sibuk mencari yang ingin dipakai besok subuh tapi waktu itu saya panik mencari jilbab yang disuruhkan kepada kami sayapun kerumanhya tante saya dengan niat meminjam jilbabnya jika ada tetapi sesampainya saya disana sayapun tidak mendapatkan jilbab yang saya cari, sayapun menuju kerumah mira karena siapa tau dia mempunyai jilbab 2 , sesampainya saya dirumah mira trernyata ibunya mhira membelikan 2 jilbab warna hijau terang dan sayapun dipinjamkan jilbabnya yang satunya, sayapun senang karena jilbab yang saya cari sudah ada tinggal kos kaki bolanya yang tidak ada. Sayapun pergi lagi mencari kos kaki bersama suamiku tercinta yang setia menemaniku dan mengantar jemput kami. Saat subuh tiba saya dan suami saya sibuk mencari kos kaki tetapi tokoh belum ada yang terbuka saya pun panik karena saya belum mendapatkan kos kaki tersebut akibat semalam saya kelelahan mencari jilbab dan membuat atribut serta sayapun tidak bisa tidur akibat memikirkan semalaman kos kakiku belum ada saya panik di mobil secera tidak disengaja saya mempunyai ide karena kos kaki saya tidak ada makanya saya berfikir dengan berpura- pura membalut kaki saya dengan niat mengelabui kakak panitia dengan alasan kaki saya sakit ditusuk beling atau pecahan kaca, Mhirapun panik melihat kaki kanan sayadibalut karena dia takutnya nanti saya ketahuan.sesampainya didepan kampus kamipun di hadang oleh kakak panitia karena saya tidak memakai sepatu dan kos kaki bola dan ternyata kakak panitia kami bisa juga dikelabui dengan akal mulusku. Hahahahaaaaaaahahahaaaaaahahahaaaaaahhaaaaaaaaaaaaaa